Apakah teknologi barang publik ? Pertanyaan ini muncul dari diskusi dengan seorang kawan ahli ekonomi tentang seberapa besar seharusnya peran pemerintah dalam pengembangan teknologi. Di Indonesia, kebijakan teknologi sangat didominasi oleh peran pemerintah. Ini hal yang wajar dan banyak terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan India. Sejak B.J. Habibie diangkat menjadi Menristek pada tahun 1978, intervensi pemerintah dalam pengembangan teknologi (khususnya industri berbasis teknologi tinggi) begitu kuat. Walaupun kebijakan teknologi di era pasca Habibie tidak seintensif masa Orde Baru, dipertahankannya Kementerian Ristek dan BPPT menunjukkan masih adanya perhatian rejim pasca Orde Baru terhadap teknologi. Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, pertanyaan yang muncul saat ini adalah bagaimana menghasilkan kebijakan teknologi yang adil dan membawa manfaat bagi rakyat banyak. Dalam situasi demikian, wacana mengenai teknologi sebagai barang publik menjadi sangat relevan.
Sistem ekonomi moderen mengenal dua jenis barang yaitu barang publik (public goods) dan barang pribadi (private goods). Ada dua karakter utama barang publik: (1) setiap orang dapat menikmatinya tanpa harus mengurangi kenikamatan orang lain dan (2) setiap orang memiliki akses yang sama ke barang tersebut. Contoh paling mudah dari barang publik adalah jalan raya. Di mana setiap orang dapat menikmatinya tanpa harus berkompetisi dengan orang lain. Dan tidak ada satupun orang yang dapat melarang orang lain menggunakan jalan raya.
Lawan dari barang publik adalah barang pribadi yang dapat dipilah-pilah dan dijual di pasar melalui sistem kompetisi. Jika mekanisme pasar memungkinkan barang pribadi diproduksi secara efisien, hal ini tidak berlaku bagi barang publik. Barang publik sulit diproduksi demi kepentingan profit karena besarnya externalitas. Karena itu, dibutuhkan intervensi pemerintah dalam produksi barang publik yang biayanya di ambil dari belanja negara. Dan pada banyak negara maju, produksi barang publik tersebut dibiayai oleh pajak.
Pada satu sisi, teknologi dapat dikategorikan sebagai barang publik dan pada sisi yang lain, dia juga dapat berfungsi sebagai barang pribadi. Pertanyaannya, di manakah batas antara teknologi sebagai barang publik dan sebagai barang pribadi ? Hal ini tergantung pada jenis teknologi dan dampaknya bagi masyarakat luas. Jika suatu jenis teknologi memiliki dampak sosial dan ekonomi yang mau tidak mau akan dinikmati banyak orang, maka teknologi tersebut adalah barang publik. Oleh karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk mengeluarkan biaya bagi pengembangan dan pengadaannya. Jenis teknologi ini meliputi transportasi massal, kesehatan, enerji, pendidikan, infrastruktur, dan komunikasi.
Sebaliknya, jika suatu jenis teknologi memiliki dampak sosial dan ekonomi hanya bagi individu, kelompok, maupun organisasi bisnis tertentu, maka teknologi tersebut adalah barang pribadi. Karenanya, pengembangan dan produksi teknologi tersebut sebaiknya dilakukan melalui mekanisme pasar di mana lebih dari satu kelompok saling berkompetisi untuk menghasilkan teknologi yang paling optimal secara ekonomis.
Walaupun kategorisasi di atas masih terlalu sederhana, setidaknya dapat dijadikan pegangan awal untuk menguji kepantasan dari strategi kebijakan pengembangan teknologi di Indonesia.
Jika selama ini pemerintah Indonesia menyediakan anggaran bagi kegiatan pengembangan teknologi, walaupun itu tidak banyak, kita bisa menilai apakah teknologi yang dikembangkan tersebut memenuhi kaidah-kaidah sebagai barang publik. Jika iya, maka seharusnya publik dilibatkan dalam penentuan jenis, produksi, dan distribusinya. Jika tidak, dalam arti teknologi yang dikembangkan cenderung bersifat barang pribadi, maka sebaiknya pengembangan teknologi tersebut dilakukan melalui mekanisme pasar di mana industri bertanggung jawab penuh dalam pendanaan. Dengan demikian, dana publik dapat dikonsentrasikan hanya bagi pengembangan teknologi yang bersifat barang publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar